For what i feel, what i see, what i hear, what i dream of, what i used to be, what i would be. Here i am. Just take a deep breath, then read!

Wednesday, April 20, 2011

Tuhanku, sutradaraku.

Selamat siang. Selamat menikmati siangmu yang pelik ini. Hei, ini anugrah. Jangan pernah kau biarkan ragamu tersiksa karena teriknya, tetapi tersenyumlah. Jadikan ini berkatmu, yang diberikan Tuhanmu kepadamu. Jadikan senyummu ibadahmu, ibadah yang paling mudah kau lakukan meskipun hatimu terasa luka. Ya, setidaknya itu yang selalu terus aku coba untuk lakukan.

 Kembali terngiang-ngiang memori itu dalam gambaranku. Dalam setiap nafas yang berhembus, kembali kuingat namamu. Sebuah nama yang pernah mengisi hidupku. Yang pernah menjadi tawa dan riangku. Yang pernah memberiku luka serta tangis yang luar biasa. Belum pernah kutemukan jiwaku serapuh itu dahulu. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi, aku tetap tersakiti. Bukan, ini tidak sepenuhnya salahmu. Ini salahku dan ini juga salahnya. Kita semua salah. Namun, aku? Akulah yang paling bodoh. Sejauh pikiranku menerawang, belum ada satupun hal yang bisa kujadikan jawaban untuk pertanyaan mengapa aku sebodoh itu bisa-bisanya terdiam melawan rasa sakit ini. Belum ada satupun hal yang meluruhkan tanda tanya mengapa aku semasokis itu dahulu. Hei, you looked so fragile. And, damn i hate myself at that time. Aku terlihat seperti kura-kura yang begitu lambat berjalan. Aku seperti pengemis di jalanan yang bahkan tak tahu ingin pulang kemana. Aku merasa seperti hanya akulah manusia di dunia ini. Tak ada satupun hal di dunia ini yang bisa kuajak bicara, yang bisa kumuntahkan semua rasa dihati. Semua tampak gagu seperti patung yang memang atk akan pernah bisa bersuara. Dan hingga saat itu berlalu, yang lain seperti ada yang bergerak. Hei, ternyata semua hidup. Semuanya ada, tidak seperti patung-patung yang kupikirkan. Semua bersuara. Semua serempak meneriakkan "Ayo Vel, kamu harus lari. Kamu harus bergerak".

Dan sesaat aku tersentak dan kemudian membeku. Ternyata benar. Akulah yang sebenarnya diam. AKulah yang sebenarnya gagu tak bergerak. Lihat! Betapa bodohnya aku. Mereka benar. Suara-suara yang kian keras berteriak membuatku melotot dan membatin dalam hati. Seketika kurengkuh harapan untuk berlari. YA, setidaknya aku kerap memanjatkan doa pada Tuhanku agar aku memiliki tenaga untuk berjalan. Batinku benar. Sekilas dia sering membisikkanku, "serahkan saja semua pada Tuhanmu!".

Dan, akupun mendengar jawabanNya. Jawaban atas doaku yang salah. Karena dulu yang aku minta adalah bukan tenaga untuk berjalan, tetapi aku berharap kamu akan berbalik membantuku bangkit dan memapahku berjalan sampai rumah. Tetapi Tuhanku baik. Dia memang tidak mengabulkannya. Tetapi Dia membuat segalanya lebih. Lebih dari ekspektasi manusiaku. Dia menghadirkan kamu yang lain untuk menjadi pemeran ketiga dalam cerita ini. Kamu yang lain yang sebenarnya sudah pernah menjadi pemeran utama dalam ceritaini. Lihat! Inilah ketololanku yang entah sudah keberapa. Sebuta itu aku tidak menyadari bahwa ada yang jauh lebih penting dari rasa sakit ini. Berapa banyak waktu yang aku korbankan untuk memaksa diriku untuk berjalan? Banyak! Padahal, kalau aku pintar, aku bisa menghindari lubang yang menjerumuskan itu, dan menari bersamamu di negeri di atas awan.

Tapi, kembali ku diingatkan bahwa aku hidup. Kembali pada teori yang mengatakan kehidupan tidak akan pernah mungkin sesempurna itu. Oke. Anggaplah ini sebuah cerita, dan aku sebagai sutradara. Eh, bukan! Aku hanya pemain biasa, biarlah Tuhanku yang menjadi sutradara. Dan, mari kita lanjutkan babak ketiga. Mungkin Tuhan butuh sedikit istirahat untuk melengkapi skenarionya. Kita tunggu saja tanggal mainnya!

0 komentar:

Post a Comment

Written by tvelofas. Powered by Blogger.

© Je Suis Moi ♥♥, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena